PENYESUAIAN DIRI TERHADAP KONFLIK PERKAWINAN PADA SUAMI ATAU ISTRI BEKERJA
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Abstrak
Suami atau istri memiliki cara penyesuaian diri yang berbeda ketika berhadapan dengan konflik dalam perkawinannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang penyesuaian diri suami atau istri ketika berhadapan dengan konflik dalam perkawinannya. Partisipan merupakan suami atau istri yang bekerja di luar rumah dan memiliki pasangan nikah yang juga bekerja di luar rumah. Ada 4 orang partisipan utama terlibat dalam penelitian ini, berusia antara 32-49 tahun, dengan usia perkawinan berkisar antara 5-27 tahun. Metode wawancara mendalam dan observasi non partisipan digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sumber konflik perkawinan berasal dari perbedaan karakter, perbedaan persepsi, pengaruh mertua, persoalan pekerjaan, dan masalah keuangan. Munculnya penyesuaian diri positif berbentuk a follower (menyetujui, mendukung aksi), conformity (menyamakan), a mover (memulai aksi), dan mastery (penguasaan diri dan keadaan), yang diperlihatkan partisipan agar tidak mengarah ke perpecahan perkawinan didukung oleh kemampuan melakukan komunikasi yang berkualitas, menanamkan kepercayaan kepada pasangan, memahami konsep peran, efisiensi dan stabilitas mental, perubahan pola hidup, serta kesamaan latar belakang dan nilai dalam menghadapi konflik perkawinan; sedangkan munculnya penyesuaian diri yang negatif berbentuk an opposer (menentang aksi) dan a bystander ( diam mengamati situasi ) karena partisipan kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang berkualitas, serta kurangnya stabilitas dan efisiensi mental. Penyesuaian diri istri lebih melibatkan aspek emosional ketika menghadapi konflik perkawinan, sedangkan suami lebih banyak melibatkan aspek kognitif berlandaskan kenyataan.
Kata kunci : konflik perkawinan, penyesuaian diri, suami atau istri bekerja
Pendahuluan
Perkawinan merupakan landasan natural bagi berkembangnya konflik, karena setiap individu memiliki pengamatan dan harapan yang berbeda (Sadarjoen, 2005). Meskipun ada kalanya suami atau istri telah memilih untuk mengalah daripada berkonfrontasi, namun konflik akan tetap hadir dalam perkawinan (Hammarskjold dalam Sadarjoen, 2005). Hal ini disebabkan oleh konflik yang tetap hadir dalam hati dan mendasari iklim relasi yang diciptakan selanjutnya.
Suryadi & Moeryono (1996) menafsirkan, bahwa sumber konflik perkawinan dapat berasal dari status istri yang bekerja. Misalnya, ketika pekerjaan di luar rumah dianggap istri sebagai hal penting bagi pengembangan potensinya, sedangkan suami menganggap bahwa keintiman suami-istri akan berkurang dan pengasuhan anak akan terbengkalai apabila istrinya bekerja di luar rumah (Osborne, 2001). Pernyataan itu mendukung Rowatt & Rowatt (1992) yang menyatakan bahwa angka perceraian meningkat disebabkan oleh pertentangan suami dan istri yang keduanya bekerja.
Suami atau istri bekerja berarti melakukan kegiatan jasmani atau rohani yang menghasilkan sesuatu. Bekerja sering dikaitkan dengan penghasilan dan penghasilan sering dikaitkan dengan kebutuhan. Dengan bekerja individu akan dapat memberi makan dirinya dan keluarganya, dapat membeli sesuatu dan memenuhi kebutuhannya yang lain (Satiadarma & Wirawan, 2008). Bekerja dapat dikatakan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan individu dalam beraktualisasi. Seiring dengan munculnya tuntutan dari pekerjaan yang ditekuni, misalnya harus meluangkan waktu lebih banyak di tempat kerja daripada di rumah, memungkinkan timbulnya konflik dengan pasangan perkawinan.
Konflik perkawinan menurut Sadarjoen (2005) dibagi menjadi 4 tipe, setiap tipe terbagi 2 subtipe konflik perkawinan. Tipe pertama terdiri atas zero sum dan motive conflict, dilatarbelakangi oleh adanya harapan atas keuntungan yang dapat diperoleh lebih dari yang diberikan pasangannya, tetapi sekaligus tidak mengharapkan kekalahan total dari pasangannya, dengan kata lain masih ada keinginan untuk tetap bersama. Perbedaan diantara keduanya terletak pada hasil. Pada zero sum ada pihak kalah dan menang, sedangkan pada motive conflict hasilnya seimbang, kedua belah pihak sama-sama kalah atau sama-sama menang. Tipe kedua terdiri dari personality based dan situational conflict, yaitu konflik yang didasari oleh situasi dan latar belakang kepribadian.
Pada tipe ketiga terdapat basic dan non-basic conflict. Basic conflict menimbulkan ketidakstabilan bahkan sampai pada kelumpuhan total, karena konflik tidak dapat ditoleransi lagi. Hal ini biasanya terjadi apabila gangguan relasi dalam perkawinan melibatkan masalah seksual dan ekonomi. Non-basic conflict terkait dengan perubahan situasi yang menghadirkan negosiasi, sehingga relasi masih terjaga. Keempat adalah tipe konflik tak terelakkan, dibagi atas beneficial conflict dan destructive conflict. Beneficial conflict merupakan konflik yang bisa diatasi dengan cara memuaskan, sehingga dengan sendirinya menghindarkan terjadinya hukuman. Konflik ini justru sering memperkuat ikatan relasi sosial dan membuat ikatan tersebut mengandung reward yang diharapkan (Blau dalam Sadarjoen, 2005). Tipe destructive conflict biasa diakhiri dengan kehancuran hubungan perkawinan akibat menurunnya kohesivitas, karena masing-masing pihak berusaha memperkuat kekuasaannya.
Efek negatif konflik perkawinan berdasarkan penelitian di Amerika (Bloom dalam Sadarjoen, 2005), antara lain peningkatan risiko psikopatologi, kecelakaan, bunuh diri, kekerasan antar pasangan, rentan berpenyakit, dan ketegangan psikis yang mengakibatkan kematian. Apabila perselisihan atau konflik berkelanjutan, hal itu dapat mengarah pada perceraian. Seperti hasil penelitian yang diperlihatkan Greer (Rakhmawati, 2004) bahwa dari 27.000 istri terdapat 78% yang merasakan keberhasilan berkeluarga dan 22% yang gagal dalam berumah tangga dan memilih perceraian sebagai cara penyelesaian konflik yang terjadi dalam perkawinan. Dengan kata lain pasangan yang memilih bercerai berarti telah gagal melakukan penyesuaian diri terhadap konflik yang hadir di tengah-tengah bahtera perkawinan mereka.
Penyesuaian diri dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi stimulus yang diterima, termasuk segala macam konflik atau kesulitan yang berkaiten dengan permasalahan hidup dan frustrasi dengan cara yang lebih efisien (Kartono & Andari, 1989). Menurut Achir (1996), menyesuaikan diri khususnya terhadap pasangan bukanlah mengalah untuk menjadi mirip pasangannya, tetapi menghormati karakteristik pribadi masing-masing sehingga mengetahui kekurangan diri sendiri dan memaklumi kekurangangan pasangannya. Suami atau istri dapat memberikan respon berbeda terhadap konflik perkawinan sebagai usaha penyesuaian diri mereka, antara lain dengan bersaing, yaitu berusaha memperkuat kehendak masing-masing demi tercapainya keinginan; berkompromi, yaitu berusaha mencari jalan keluar terbaik dengan membicarakan setiap persoalan tanpa ada salah satu yang merasa dirugikan dan berusaha mengerti keadaan pasangan dengan menciptakan keseimbangan dalam pertentangan; menghindar, yaitu memilih melarikan diri dari permasalahan dengan mengabaikan atau menekan kehendak (Hardjana, 1994). Schneiders (1983) membagi bentuk penyesuaian diri menjadi 3, masing-masing adalah menyesuaikan (adaptation), pada umumnya bersifat fisik tetapi dapat pula berupa upaya mempertahankan keunikan dan perbedaan kepribadian individu dalam hubungannya dengan lingkungan; menyamakan (conformity), adalah upaya untuk menyamakan, bisa dalam bentuk aktivitas seperti ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan suami atau istri, atau mencoba menyukai hobi yang disukai pasangannya; menguasai diri (mastery), merupakan kemampuan untuk merencanakan, menyusun strategi dan mengorganisasikan respon dengan cara-cara tertentu sehingga tidak mendatangkan frustasi. Penyesuaian diri juga dapat dilakukan dengan mengubah diri sesuai lingkungan (autoplastic), merupakan bentuk penyesuaian diri pasif karena kegiatan seseorang ditentukan oleh lingkungan; sedangkan penyesuaian diri yang lebih aktif adalah dengan mengubah lingkungan (alloplastic), dalam hal ini seseorang lebih berpengaruh terhadap lingkungan (Woodworth dalam Gerungan, 1991).
Munculnya konflik perkawinan membawa individu pada suatu pilihan untuk menyesuaikan diri. Apabila suami-istri menemui konflik tipe personality based dan situational conflict, penyesuaian diri dapat dilakukan dengan memulai aksi, memahami sebab-sebab terjadinya konflik, atau dengan berusaha mengerti keadaan pasangan (Sadarjoen, 2005). Pada tipe konflik yang lain, bilamana bertemu dengan beneficial conflict, suami-istri dapat menyesuaikan diri dengan berusaha mengikuti kebiasaan dan pola hidup pasangannya, sedangkan pada destructive conflict penyesuaian diri yang diambil mengarah pada perlawanan terhadap pasangan, suami atau istri berperan sebagai penentang aksi pasangan (Sadarjoen, 2005).
Penyesuaian diri menjadi pilihan bagi suami atau istri bekerja, ketika konflik perkawinan hadir di antara mereka. Suami atau istri dapat memilih bentuk penyesuaian diri yang bersifat memulai aksi (a mover), menentang, tanpa kompromi (an opposer), mendukung, menyetujui, berpartisipasi dan melanjutkan aksi (a follower), atau diam saja atau menekan keinginan (a bystander), sebagaimana dinyatakan oleh Sadarjoen (2005). Apabila pilihan penyesuaian diri berdampak positif, maka perkawinan akan dapat bertahan dan selanjutnya berakibat baik bagi suami atau istri dan keluarganya. Penyesuaian diri yang positif ditandai oleh adanya kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada diri sendiri, pada pasangan atau pada lingkungan perkawinan (Spanier dalam Laswell & Laswell, 1990). Tanda-tanda positif lainnya adalah persetujuan di antara pasangan atau kesepakatan dalam bernegosiasi, kelekatan atau keterikatan dan saling ketergantungan di antara pasangan, kepuasan terhadap pasangan, dan ungkapan perasaan dengan cara yang baik. Sebaliknya jika suami atau istri mengambil bentuk penyesuaian diri yang berdampak negatif, maka kemungkinan besar terjadi perceraian yang berakibat buruk bagi yang bersangkutan maupun seluruh keluarganya.
Suryadi & Moeryono (1996) menyatakan, bahwa sumber konflik perkawinan dapat berasal dari status pasangan suami istri yang keduanya bekerja. Menurut Scanzoni (Sadarjoen, 2005), hal itu terkait dengan jenis perkawinan yang dipilih pasangan, apakah gaya perkawinan tradisional atau egaliter. Semakin tradisional gaya perkawinannya, maka akan semakin tinggi posisi suami, sehingga mendorong perannya untuk menjadi lebih dominan. Sebaliknya pada gaya perkawinan egaliter yang menekankan pada komunikasi 2 arah, berbagi tugas, kedekatan, privasi dan saling memperhatikan, maka proses penyesuaian diri terhadap konflik pada area pembagian kerja dalam rumah tangga akan bernilai positif dan berpengaruh terhadap kepuasan perkawinan (Forisha dalam Sadarjoen, 2005).
Berdasarkan pendapat Schneiders (1983), Kartono & Andari (1989), Achir (1996) dan Sadarjoen (2005) dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri terhadap konflik perkawinan adalah suatu proses dalam mengelola perbedaan dan pertentangan di antara suami istri dengan cara bernegosiasi, mengadakan perubahan sikap dan perilaku untuk mengatasi konflik dengan harapan akan diperoleh persetujuan bersama di antara kedua pihak, yaitu suami dan istri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyesuaian diri terhadap konflik perkawinan pada suami atau istri bekerja. Hasil penelitian diharapkan dapat memperoleh gambaran yang utuh mengenai dinamika penyesuaian diri suami atau istri bekerja ketika berhadapan dengan konflik dalam perkawinan yang selanjutnya dapat dijadikan dasar pegangan dalam memberikan konseling perkawinan bagi suami-istri yang berada dalam kondisi serupa. Sebagai pijakan awal penelitian diajukan pertanyaan “Bagaimanakah gambaran penyesuaian diri suami atau istri bekerja ketika mengalami konflik perkawinan?”
METODE
Pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dipandang paling sesuai diterapkan pada penelitian ini. Menurut Yin (1994), studi kasus dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian berupa “bagaimana” dan “mengapa”. Kedua pertanyaan tersebut mengindikasikan perlunya eksplorasi terhadap permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian. Alasan berikutnya terkait dengan kontrol terhadap perilaku yang akan diteliti. Studi kasus digunakan ketika perilaku subjek (partisipan) yang akan diteliti tidak dapat dimanipulasi. Alasan terakhir berkaitan dengan fokus, dinyatakan oleh Yin (1994) bahwa studi kasus adalah penelitian terfokus, antara lain memfokuskan pada fenomena-fenomena yang relatif kontemporer. Sebagai alat pengumpul data digunakan wawancara mendalam dan observasi non-partisipan. Pertanyaan yang disampaikan kepada partisipan utama antara lain:
- Coba ceritakan tentang pekerjaan Anda!
- Bagaimana tanggapan pasangan Anda tentang pekerjaan Anda?
- Bagaimana jika muncul konflik dalam perkawinan Anda? Ceritakan apa yang Anda lakukan untuk menghadapi konflik tersebut?
- Bagaimana tanggapan pasangan Anda jika terjadi konflik perkawinan di antara kalian?
- Bagaimana Anda menanggapi apa yang dilakukan pasangan Anda dalam menyikapi konflik perkawinan?
Selain partisipan utama, penelitian ini juga melibatkan significant person bagi partisipan utama. Kepada significant person ini disampaikan pertanyaan sebagai berikut:
- Bagaimana pandangan (partisipan utama) tentang pekerjaannya?
- Bagaimana pengaruh pekerjaan (partisipan utama) terhadap kehidupan perkawinannya?
- Apabila terjadi konflik dalam perkawinan, bagaimana caranya (partisipan utama) menghadapi konflik itu?
- Bagaimana tanggapan pasangan terhadap apa yang dilakukan (partisipan utama) ketika menghadapi konflik?
Untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh melalui wawancara digunakan observasi. Observasi dilakukan untuk melihat spesifikasi perilaku partisipan sesuai dengan konteks situasinya (Mulyana, 2006), untuk pengecekkan apakah responden telah yakin dengan jawabannya. Observasi akan dapat bermanfaat untuk menghindarkan bias-bias jawaban dari responden (Flick, 2002). Peneliti mengamati kebenaran ekspresi yang diperlihatkan partisipan berdasarkan jawaban yang diberikannya, serta perilaku non-verbal lain yang diperlihatkan selama berlangsungnya proses wawancara, mencakup ekpresi wajah, gerakan mata, alis, bibir, kepala, tangan dan kaki, arah pandangan, posisi tubuh, intonasi suara, serta penampilan secara keseluruhan.
Partisipan Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif dikenal dengan istilah partisipan (Hadi, 2004). Pemilihan partisipan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Ada 4 orang bertindak sebagai partisipan utama yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Menikah, minimal 5 tahun
- Berusia minimal 21 tahun
- Bekerja di luar rumah
- Mempunyai pasangan nikah yang juga bekerja di luar rumah.
Ke empat partisipan tersebut masing-masing adalah BS (suami, 49 tahun), menikah selama 27 tahun, wiraswastawan; SR (istri, 32 tahun), menikah selama 9 tahun, perawat di rumah sakit; BD (suami, 33 tahun) menikah selama 5 tahun, dosen; TS (istri, 45 tahun) menikah selama 15 tahun, guru.
Adapun yang bertindak sebagai significant person bagi partisipan utama adalah pasangan nikah masing-masing partisipan. SW (istri BS, 47 tahun, guru), AP (suami SR, 32 tahun, perawat di rumah sakit), TN ( istri BD, 30 tahun, guru), MS (suami TS, 55 tahun, wartawan).
Pengambilan data penelitian berlangsung antara 29 Maret – 21 September 2008, dengan mendatangi masing-masing partisipan secara door to door untuk melakukan wawancara dan observasi. Lamanya proses wawancara bervariasi antara partisipan satu dengan yang lain, berkisar antara 30 menit sampai dengan 150 menit (2,5 jam).
Data yang diperoleh melalui wawancara diorganisasikan dan dikelompokkan berdasarkan unit-unit tema dan temanya, setelah itu disusun deskripsi tekstual dan struktural (Creswell, 2003). Deskripsi tekstual adalah hal-hal yang melatarbelakangi terbentuknya penyesuaian diri suami atau istri bekerja ketika berhadapan dengan konflik perkawinan, sedangkan deskripsi struktural adalah bagaimana proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh suami atau istri bekerja ketika menghadapi konflik perkawinan.
HASIL
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan 5 macam sumber utama konflik perkawinan, yaitu perbedaan karakter kepribadian, dialami SR dan BD; perbedaan persepsi, dialami BS dan SR; pengaruh mertua, dialami BS dan SR; persoalan pekerjaan, dialami SR, BD dan BS; dan masalah keuangan dialami TS. Penyesuaian diri yang diperlihatkan masing-masing partisipan meliputi a follower, a mover, conformity, mastery, an opposer, dan a bystander didukung pemanfaatan kemampuan komunikasi, kepercayaan terhadap pasangan, pemahaman konsep peran, efisiensi dan stabilitas mental, perubahan pola hidup, dan kesamaan latar belakang maupun nilai. Secara ringkas sumber konflik yang dirasakan partisipan dan bentuk-bentuk penyesuaian diri untuk menghadapi konflik itu disajikan dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Ringkasan Hasil Penelitian
Faktor |
SR |
BS |
BD |
TS |
Kemampuan dilibatkan | Komunikasi, kepercayaan kepada suami, efisiensi dan stabilitas mental, kesamaan pekerjaan | Komunikasi, konsep peran, stabilitas mental | Komunikasi, kepercayaan kepada istri, | Komunikasi |
Jenis konflik | Situational conflict, non-basic conflict, beneficial conflict | Basic conflict, destructive conflict | Personality-based conflict | Motive conflict |
Bentuk penyesuaian diri | A follower, a mover, mastery | An opposer, a bystander, a mover | A mover, | A mover, a follower |
DISKUSI
Penyesuaian diri suami atau istri dalam perkawinan harus dilakukan, karena kehidupan berumahtangga tidak akan terlepas dari konflik yang kadang-kadang bersifat laten (tersembunyi), atau karena ada persoalan baru akibat suatu perubahan yang terjadi. Seperti dikemukakan Harber & Ruyon (2009), bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses yang terus berlangsung seiring dengan kehidupan seseorang. Penyesuaian diri bisa berubah-ubah sesuai dengan pengalaman dan tujuan hidup yang berubah karena keadaan tertentu. Penelitian ini melibatkan 4 pasang suami istri yang bekerja di luar rumah.
Dari hasil wawancara diketahui SR memiliki 3 macam sumber konflik, yang pertama bersumber pada perbedaan karakter dengan suaminya, AP, terkait dengan pengasuhan anak. SR dianggap AP seorang pemarah ketika menghadapi anak-anaknya. Untuk menyesuaikan diri terhadap konflik, SR bertindak sebagai a follower (mendukung aksi) AP, karena menganggap apa yang dilakukan AP adalah demi kebaikan bersama. Tipe konflik ini disebut dengan situational conflict, yaitu konflik bersumber pada situasi yang didukung oleh perbedaan latar belakang kepribadian (Sadarjoen, 2005).
Bentuk konflik lain dialami SR, menyangkut perbedaan persepsi tentang hubungan dengan rekan pria sekantor dan jadwal pekerjaan yang dianggap suaminya (AP) berlebihan dan tidak menentu. SR berusaha membicarakannya dengan AP mengenai keinginan masing-masing, berkompromi tentang bagaimana keadaan sebaiknya, dengan menekankan kembali pada konsistensi atas komitmen yang telah mereka buat sejak awal menikah, sehingga hubungan di antara suami-istri kembali terjalin baik, apalagi yang dimaksudkan rekan pria sekantor itu adalah atasan SR. Hal ini memperlihatkan bahwa SR memiliki kemampuan untuk merencanakan dan mengorganisasikan respon dengan cara-cara tertentu sehingga tidak terjadi frustrasi (mastery). Menurut Sadarjoen (2005), konflik yang terkait dengan perubahan situasi tetapi masih menghadirkan negosiasi akan memungkinkan relasi masih terjaga. Komunikasi yang terjalin baik dan sikap saling memahami mampu mendukung terjadinya penyesuaian positif bagi SR.
Partisipan kedua, BS, juga memiliki 3 sumber konflik. BS merasakan besarnya pengaruh mertua pada munculnya konflik dengan SW selaku istrinya, bahkan BS sampai memutuskan untuk tinggal sendiri berpisah dengan istri dan anak-anaknya untuk dapat menjauhi mertua. Hal ini menunjukkan bahwa BS memilih menjadi an opposer dalam rangka menyesuaikan diri terhadap konflik perkawinan, meskipun sebenarnya BS mengalami perasaan putus asa dengan keadaannya itu. BS sangat berharap agar SW dan anak-anaknya bersedia mengikutinya tinggal di luar rumah mertuanya. Destructive conflict dialami BS yang kemungkinan besar akan berakhir dengan kehancuran hubungan perkawinan karena menurunnya kohesivitas, suami dan istri berusaha memperkuat kekuasaannya masing-masing (Sadarjoen, 2005).
Pencetus konflik yang berlarut-larut antara BS dan SW adalah persepsi yang berbeda tentang status pekerjaan BS. Keluarga SW terutama orangtuanya (mertua BS) menghendaki BS memiliki pekerjaan tetap sebagaimana istrinya yang bekerja sebagai PNS, sedangkan BS berpandangan bahwa pekerjaan apapun tidak perlu dipermasalahkan asalkan halal. Konflik ini dipertajam dengan adanya ketidaksepahaman antara BS dan SW tentang interaksi pertemanan antara BS dengan rekan kerjanya, tetapi di sisi lain BS juga merasa kecewa telah dieksploitasi perannya di dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang semestinya dapat dikerjakan oleh SW sebagai istri seandainya pekerjaan SW di luar rumah tidak seperti “pekerja pabrik”. Basic conflict seperti ini dapat menimbulkan ketidakstabilan bahkan sampai pada kelumpuhan total dalam perkawinan (Sadarjoen, 2005). Tampaknya meskipun ditilik dari segi usia BS dan SW sudah matang, tetapi tidak demikian halnya dengan kestabilan mentalnya. Menurut Basri (1999), kondisi mental mempengaruhi cara suami dan istri dalam bertindak terhadap konflik yang muncul di antara keduanya. Mental yang sehat dan stabil akan menjadikan seseorang mampu menghadapi kenyataan sebagaimana adanya, berusaha meraih kebahagiaan hidup tanpa merugikan orang lain, dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan secara wajar dan obyektif.
BD adalah partisipan ketiga yang memiliki konflik perkawinan berjenis personality-based conflict. Menurut BD, TN istrinya terlalu sentimentil, romantis, cenderung cengeng tetapi suka terburu-buru, dan kurang mandiri, sedangkan BD merasa sebagai orang yang terbuka, mandiri, tidak romantis dan sentimentil. Perbedaan karakter ini sering menyebabkan BD marah kepada TN, merasa tidak nyaman, dan akhirnya memicu perselisihan. Namun demikian BD percaya bahwa TN dapat menerima setiap masukannya, sehingga perselisihan yang muncul dapat diupayakan selesai pada hari yang sama. Dalam menghadapi konflik perkawinan BD bertindak sebagai a mover, a follower, dan conformity, yaitu berusaha memulai aksi untuk melakukan rekonsiliasi dan saling berbicara. Hal itu dimungkinkan karena BD memiliki kepribadian yang terbuka. Komunikasi dengan keterbukaan, melalui ungkapan dan gaya yang dapat diterima pasangan akan menghindarkan dari kesalahpahaman yang dapat berujung pada perceraian (Teddy, 2006).
Hal ini diperkuat pernyataan Sadarjoen (2005) bahwa konflik cenderung diasosiasikan sebagai komunikasi yang rusak atau pecah. Jika persoalan perbedaan karakter di antara kedua orang sebagai pasangan suami istri dapat diupayakan untuk memperoleh kejelasan melalui keterbukaan dalam berkomunikasi, maka kedua belah pihak dapat memiliki pemahaman yang lebih dalam mengenai karakter masing-masing. Hasil penelitian Sriningsih (2005) juga membuktikan bahwa berkomunikasi langsung dengan orang yang dianggap sebagai sumber penyebab masalah merupakan cara utama untuk melakukan antisipasi ketika terlibat krisis perkawinan. Pembicaraan secara langsung diupayakan dengan tenang tanpa emosi, menggunakan perbendaharaan kata yang baik dan bersikap kalem dengan penuh pertimbangan, sebisa mungkin ketika sedang membicarakan masalah dihindari pembicaraan yang bernada emosional, seperti marah-marah, dan jika tidak dapat berbicara baik-baik lebih memilih diam saja. Dengan demikian hal-hal yang tidak diharapkan pun tidak akan terjadi, misalnya bila isteri marah-marah dan suami tidak mampu mengendalikan diri menghadapi kemarahan itu kemudian menjadi ringan tangan.
Hasil penelitian Sriningsih pada waktu sebelumnya tentang pemanfaatan komponen verbal dalam berkomunikasi antara sepasang suami-isteri (Sriningsih, 1999; 2002) memperlihatkan, bahwa di dalam sebuah hubungan berbentuk perkawinan, untuk menjaga kualitas interaksi ada kecenderungan meminimalkan pemakaian komunikasi nonverbal (Siningsih, 1999), yang berarti berbicara secara lisan lebih diutamakan. Dengan berbicara langsung mereka dapat saling bertukar pikiran dan mempertemukan ide masing-masing, sehingga reaksi terhadap pesan-pesan yang disampaikan komunikan dapat diberikan dengan tepat (Knox, 1988). Dalam keadaan demikian, masing-masing pihak akan dapat memahami pokok permasalahan dengan baik, sehingga krisis tidak berlangsung berkepanjangan yang akibatnya tentu sangat merugikan.
Partisipan terakhir adalah TS, yang memperlihatkan motive conflict khususnya mengenai masalah keuangan. Status TS sebagai istri yang dinikahi secara siri membuatnya seakan-akan harus berjuang sendirian guna menutupi kebutuhan hidupnya beserta anak-anaknya. TS merasa bahwa MS suaminya kurang jujur dan terbuka atas permasalahan keuangan ini, bahkan TS merasa dirugikan karena penghasilan yang diperolehnya sendiri justru sering dipakai suaminya untuk membiayai keluarga dari pihak istri pertama.
Pada awalnya TS sering marah-marah ketika sedang berkonflik dengan suaminya dan yang sering menjadi sasaran kemarahan adalah anak-anaknya. Namun kemudian TS merasa bahwa hal itu adalah suatu kebodohan karena anaknya tidak bersalah dalam hal ini. Pada waktu-waktu berikutnya ada keterlibatan pihak ketiga dari keluarga yang membantu meredakan ketegangan akibat konflik perkawinan ini, di samping telah muncul sikap saling pengertian di antara keduanya, sehingga walaupun terjadi keributan besar tetapi dapat diakhiri tanpa perceraian.
Peran pihak ketiga dari keluarga memang terbukti mampu mendamaikan perselisihan di antara suami-istri sebagaimana hasil penelitian Sriningsih (2005). Apabila membicarakan secara langsung dengan pasangannya tidak juga dapat menyelesaikan masalah, suami atau istri berusaha minta tolong orang lain untuk membantu menyelesaikannya. Biasanya orang yang sering dimintai saran/pendapat adalah orang yang dapat dipercaya, seperti orangtua, sahabat/teman, saudara dekat/jauh maupun sesepuh warga, misalnya ketua RT/RW atau pemuka agama. Mereka berharap, saran/ide dari orang lain dapat memecahkan masalahnya atau setidaknya dengan berbagi pada orang lain beban permasalahannya dirasakan lebih ringan. Hal itu terutama dilakukan ketika menemui ketidaksepakatan tentang masalah anak dengan pasangannya atau ketika mengetahui pasangannya berselingkuh dengan orang lain atau ketika ada anggota keluarga yang sering sakit. Permasalahan-permasalahan yang dirasakan terlalu berat untuk dipikul sendirian, menyebabkan suami atau istri butuh orang lain untuk diajak mendiskusikannya. Upaya TS untuk menyesuaikan diri terhadap konflik perkawinan dengan memulai mengajak bekerjasama yang melibatkan kemampuan berkomunikasi merupakan cara bertindak sebagai a mover dan a follower.
KESIMPULAN
Berdasar hasil penelitian ditemukan 5 macam sumber utama konflik perkawinan, yaitu perbedaan karakter kepribadian, dialami SR dan BD; perbedaan persepsi, dialami BS dan SR; pengaruh mertua, dialami BS dan SR; persoalan pekerjaan, dialami SR, BD dan BS; dan masalah keuangan dialami TS. Pasangan suami istri bekerja akan memiliki kehidupan perkawinan yang khas bila dibandingkan dengan pasangan suami istri pada umumnya. Hal demikian terlihat pula dalam bentuk-bentuk penyesuaian diri yang diperlihatkan ketika berhadapan dengan konflik dalam perkawinan. Penyesuaian diri yang diperlihatkan masing-masing partisipan meliputi penyesuaian diri positif berbentuk a follower (menyetujui, mendukung aksi), conformity (menyamakan), a mover (memulai aksi), dan mastery (penguasaan diri dan keadaan), yang diperlihatkan partisipan agar tidak mengarah ke perpecahan perkawinan didukung oleh kemampuan melakukan komunikasi yang berkualitas, menanamkan kepercayaan kepada pasangan, memahami konsep peran, efisiensi dan stabilitas mental, perubahan pola hidup, serta kesamaan latar belakang dan nilai dalam menghadapi konflik perkawinan; sedangkan munculnya penyesuaian diri yang negatif berbentuk an opposer (menentang aksi) dan a bystander (diam mengamati situasi) karena partisipan kurang memiliki kemampuan berkomunikasi yang berkualitas, serta kurangnya stabilitas dan efisiensi mental.
DAFTAR PUSTAKA
Achir, Y,A. (1996). Apa dan bagaimana mengatasi problem keluarga. Jakarta: Penerbit Pustaka Antara.
Basri, H. (1999). Keluarga sakinah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, J.W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. London: Sage Publications
Flick, U (2002). An introduction to qualitative research. 2nd ed. London: Sage Publications.
Gerungan, W.A. (1991). Psikologi sosial. Bandung: PT Eresco.
Hadi, S. (2004). Metodologi research. Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi
Hardjana, A.M. Konflik di tempat kerja. Yogyakarta: Kanisius.
Kartono, K. & Andari, E. (1989). Hygiene mental dan kesehatan mental dalam Islam. Bandung: CV Mandar Maju.
Knox, D. 1988. Choices in relationships. 2nd ed. St. Paul: West Publishing. Co.
Laswell, M. & Laswell, T. (1990). Marriage and the family. New York: Wadsworth, inc.
Mulyana, D. (2006). Metodologi penelitian kualitatif. Paradigma baru Ilmu Komunikasi dan ilmu sosial lainnya. Bandung: PT Rosda Karya.
Osborne, C.G. (2001). Seni memahami pasangan Anda. Penerjemah: Fenny Veronica. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Rakhmawati, M. (2004). Hubungan komunikasi interpersonal dengan keberhasilan berkeluarga. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Wangsa Manggala.
Rowatt, G.W. & Rowatt, M.J. (1992). Bila suami-istri bekerja. Yogyakarta: Kanisius
Sadarjoen, S.S. (2005). Konflik marital. Pemahaman konseptual, aktual, dan alternatif solusinya. Bandung: PT Refika Aditama.
Satiadarma, M.P. & Wirawan, H.E. (2008). Gambaran konflik dan reaksi emosional perempuan dalam menentukan prioritas peran gandanya. http://www.psikologi-untar.com/skripsi/tampil.php/id=62. diakses 5 Pebruari 2008
Scnheiders, A.A. (1983). Personal adjustment and mental health. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Sriningsih, 1999. Konsep diri, ciri kepribadian dan komunikasi non-verbal dalam interaksi perkawinan berlatar budaya Jawa. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Sriningsih. 2002. Pola komunikasi non-verbal pada perkawinan berlatar budaya Jawa. Psikonomi, 1, 35-42
Sriningsih. (2005). Cara mengantisipasi krisis perkawinan pada keluarga pedesaan. Insight, 2, 142-152
Suryadi, Y.Y. & Moeryono. (1996). Hubungan antara keintiman perkawinan dan gangguan neurosis. Anima. 45, 17-45.
Teddy. (2006). Suami berubah tingkah laku. Pikiran Rakyat. 3 September
Yin, R.K. (1994). Case study research: Design and methods. Thousand Oaks: Sage Publications.
Leave a Reply